Langit menerangi
hamparan tebu. Pucuk tanaman manis
setinggi badan itu nampak merunduk, pasrah menunggu parang para penebang.
Namun langit bersih itu tak mampu
menghapus wajah muram warga dan terangi masa depan mereka. Puluhan tahun warga
teguh menanti bumi, karena menurut warga, meskipun langit itu indah, selama
ini tak bisa ditanami apa-apa.
Tak seperti malam sebelumnya, tiga malam
terakhir pertengahan bulan mei ini hujan tidak turun, tak terbayangkan kalau
hal itu terjadi. Ibu –ibu akan
berlarian, anak-anak berebut mencari
tempat berteduh, tungku dapur umum pasti padam, sedangkan marung (pondok) didirikan warga hanya di pintu masuk dan keluar
akses perkebunan. Jika turun hujan, kami semua dipastikan menggigil dan lapar,
karena tenda induk tak bisa menampung
seluruh warga yang menginap dilahan.
Sejauh ini
masyarakat Desa Sri Bandung tetap bertahan menduduki lahan tebu PTPN VII Cinta
Manis Ogan Ilir-Sumsel. Mereka menuntut pengembalian lahan seluas 3000 ha yang
telah diambil paksa oleh perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis sejak tahun 1982.
Warga tidak akan berhenti, sebelum tanah mereka bisa diolah kembali, menanam
nanas, menanam balam (karet) yang
diimpikan selama puluhan tahun.
Angin malam mulai
berhembus, meniupkan aroma tebu, sebagian menahan kantuk, sisanya menerawang
peristiwa puluhan tahun silam, mengenang derap langkah aparat, mengingat raung
buldozer.
Kisah Sri Bandung menginggatkan
peristiwa pada 4 desember 2009 silam, ketika aparat Brimob dengan bengisnya mengeluarkan
peluru dari moncong senjatanya kearah petani tanpa senjata, yang sedang berada
diatas lahan mereka, yang sejak puluhan tahun silam diklaim oleh PTPN VII.
Peristiwa berdarah ini menyisakan kisah tragis hingga saat ini, akan tetapi tindakan
kekerasan yang mereka alami tersebut tidaklah menyurutkan langkah warga untuk
tetap bertahan dan menanami lahan itu dengan pohon balam.
“ Balam kami la besa sekarang, dua tahun lagi
pacak kami panen”.Tutur Bu Adi (begitu
kami sering menyapanya) merupakan salah satu korban kekerasan aparat Brimob di
Desa Rengas, Payaraman-Ogan Ilir, Sumsel. Perempuan yang lahir 59 tahun silam
inisekarang agak lega, karena lahan yang dulu dirampas PTPN VII Cinta Manis
sekarang bisa ia kelola bersama warga lainnya.
“ Itu
Dek ! pisang dari lahan lemak nian kami makan, teraso mimpi kami makan pisang
dari lahan yang selama puluhan tahun kami harapkan”. Seusai menyapu
airmata, tangannya menunjuk tandan pisang yang ia letakan disudut dapur.
Ibu Adi adalah salah satu warga desa Rengas yang “lapar” tanah. Tidak ada
alasan lagi bagi negara untuk tidak memberikan hak yang mereka tuntut. Karena
menurut data PTPN VII tahun 2011, total luas lahan lahan tebu unit usaha Cinta
Manis sebanyak 9.990,20 ha. Sedangkan menurut keterangan Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Provinsi Sumsel, Hak Guna Usaha (HGU) Cinta Manis hanya 6000 ha
yang berlokasi di Desa Burai Kecamatan Rantau Alai.
Kembali kepada
peristiwa tiga tahun lalu , ketika menyaksi tangan Bu Adi bergetar, menemani
pertama kali ia tancapkan bibit karet dilahan yang ia damba selama 27 tahun
lamanya. Bapak-bapak pun menahan haru, menyaksi 25 marung telah berdiri. Marung
yang akan menjadi bukti kesetiaan mereka terhadap masa depan anak cucu.
Kini gerakan rakyat
telah menyebar. Selain getah balam,
pisang dan buah nanas, Desa rengas telah membuahkan gerakan rakyat bagi
sejumlah desa disekitar PTPN VII Cinta Manis. Contohnya Warga
Desa Sri Bandung, Ketiaw, Lubuk Bandung, Betung mulai sadar, bahwa tebu
dihadapan mereka rasanya “ Tak Lagi Manis”. Bahwa tebu dihadapan mereka telah
menjadi simbol keserakahan para tuan.
Bersahutan kokok
ayam mulai terdengar, waktu sudah menjelang pagi. Dan pagi ini, seperti pagi
yang lain, menjadi hal terindah dalam hidup, menemani mereka menyemai bibit
perdana. kita bisa sakiskan raut muka, tangan mereka, degup jantung mereka dan
air mata mereka. sungguh sayang jika momentum itu dilewatkan, karena hari
selanjutnya kita sudah “kesiangan”.
Ditulis WALHI Sumsel
0 komentar:
Posting Komentar