WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Mei 28, 2012

Warga seri bandung duduki lahan setelah dialog gagal

Warga Desa Sribandung, Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan menduduki lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Unit Usaha Cinta Manis, akibat upaya dialog dan mediasi sebelumnya dinilai gagal dan tidak memberikan keputusan yang jelas.

Koordinator Petani Sri Bandung Bersatu (PSB), Abdul Muis, memberikan penjelasan yang diterima di Bandarlampung, Minggu, berkaitan aksi unjuk rasa dan diikuti pendudukan lahan PTPN VII itu, sekaligus untuk menanggapi penjelasan pihak PTPN VII sebelumnya atas aksi warga tersebut.

Menurut dia, justru aksi warga itu dipicu oleh kejadian perampasan tanah warga Desa tersebut oleh PTPN VII Cinta Manis yang sudah berlangsung lama sejak tahun 1982.

Waktu itu, kata dia, warga tidak memiliki pilihan selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh pihak PTPN VII tanpa mendapatkan ganti rugi yang layak.

Proses ganti rugi tahun 1982 pun menurut dia, dipenuhi tekanan, intimidasi dan sikap represif aparat keamanan.

Ganti rugi itu pun dinilai warga di sini tidak adil, seperti dari lima ha lahan hanya satu hektare saja yang diganti, dan lebih parah kagi, hingga saat ini masih ada tanah warga yang masih belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII, kata dia lagi.

Berbagai upaya dialog dan mediasi juga telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII dituding selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan yang tegas.

Akhirnya, pada Senin (21/5), warga memutuskan untuk memblokade akses jalan menuju pabrik pengolahan gula pasir PTPN VII Unit Cinta Manis, dan warga kemudian mendirikan tenda serta mematok lahan seluas 3.000 ha di sana.

Aksi tersebut merupakan puncak kekecewaan warga terhadap keberadaan PTPN VII yang dinilai selama ini tidak menguntungkan rakyat sekitar, ujar dia lagi.

Dia menyebutkan, dari jumlah tenaga kerja 70 persen didatangkan dari luar.

Kemudian, sungai di daerah itu yang tadinya bisa dijadikan tempat mencari ikan, kini sudah tercemar dan ikan-ikan sudah mulai punah akibat limbah.

Selanjutnya, debu pembakaran tebu dari Pabrik Gula (PG) Cinta Manis PTPN VII masuk ke permukiman warga dan mengganggu aktivitas mereka.

Menurut dia, dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Unit Cinta Manis, hanya 6.000 ha yang diketahui memiliki hak guna usaha (HGU) berlokasi di daerah Burai, Kecamatan Rantau Alai.

Karena itu, warga Desa Sribandung, Kecamatan Tanjungbatu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel yang tergabung dalam organisasi Petani Sribandung Bersatu (PSB), menuntut agar tanah warga yang telah dirampas oleh PTPN VII sejak tahun 1982 segera dikembalikan kepada warga.

Apabila hal itu tidak dipenuhi, warga akan terus menginap dan melakukan aktivitas penanaman serta pematokan di lokasi, kata Abdul Muis pula.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, selaku pendamping warga, menyatakan, bila secara hukum pihak perusahaan dinilai telah banyak melakukan penyimpangan.

Menurut dia, dari sekitar 20.000 hektare lahan yang dikelola PTPN VII itu, hanya 6.000 ha yang memiliki HGU dan lokasinya berada di Desa Burai, Kecamatan Tanjungbatu.

Artinya lebih dari situ, lahan perusahaan itu tidak mempunyai alas hak, termasuk di kawasan Desa Sribandung, ujar dia lagi.

Karena itu, kata dia, tidak berlebihan bila warga Sribandung secara harga mati minta agar lahannya dikembalikan tanpa syarat.
 
                      Pabrik Gula Berhenti Giling
Sebelumnya, pihak PTPN VII menyayangkan aksi warga itu, karena berakibat buruk bagi aktivitas perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di Kabupaten Ogan Ilir itu.

Sekretaris Perusahaan PTPN VII, Sonny Soediastanto, atasnama Direksi yang berkantor di Bandarlampung, membenarkan aksi unjuk rasa disertai dengan pendudukan lahan dan pemblokiran jalan oleh warga di PTPN VII Unit Usaha Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel itu terus meluas.

Akibatnya, menurut Sonny, aktivitas Pabrik Gula Cinta Manis di sana yang menggiling tebu, berhenti total sejak 25 Mei lalu.

Selain mengancam produksi gula pasir nasional, aktivitas perekonomian masyarakat pada mata rantai produksi gula juga terancam, akibat aksi pendudukan lahan yang membuat penggilingan tebu terhenti, kata dia.

"Banyak yang kehilangan pendapatan dengan penghentian aktivitas pabrik, seperti pekerja tebang, muat, usaha angkutan, dan ikutannya yang melibatkan ribuan orang," ujar Sonny lagi.

Aksi unjuk rasa menuntut pengembalian lahan yang dilakukan warga hingga sepekan ini, bukan saja hanya dilakukan oleh warga Desa Sribandung, Kecamatan Tanjungbatu, melainkan juga dilakukan oleh warga 13 desa di sekitar.

Mereka terus melakukan pematokan lahan dan memblokir jalan, sehingga aktivitas tebang, muat, dan angkut tebu tak bisa dilakukan, ujar dia pula.

Menurut Sonny, dengan berhenti giling, bukan hanya perusahaan yang dirugikan, melainkan juga masyarakat dan pekerja yang pendapatannya bergantung dari proses produksi gula pasir di PG Cinta Manis itu.

Pada musim giling saat ini saja, ada sekitar 2.500 orang tenaga borong tebang dan muat, dan sekitar 250 tenaga sopir angkutan yang menggantungkan hidupnya dari proses produksi gula pasir itu, kata dia.

"Kalau pabrik berhenti, mereka kehilangan mata pencaharian yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial," ujar dia lagi.

Kalau banyak warga yang kehilangan mata pencaharian, juga akan menimbulkan keresahan dan kegalauan yang bisa memicu konflik horizontal antara petani, pekerja, dan masyarakat yang akan merugikan banyak pihak, kata Sonny.

Karena itu, manajemen PTPN VII berharap semua pihak, terutama aparat pemerintah dan aparat keamanan serta para tokoh masyarakat membantu memulihkan situasi dan kondisi agar menjadi kondusif sehingga aktivitas produksi gula bisa kembali dilakukan secepatnya.

"Kami berharap, aksi tersebut tidak anarkis dan berkelanjutan, karena bisa mengancam perekonomian masyarakat dan perekonomian daerah," kata dia.

Sonny juga mengatakan, sebenarnya tuntutan warga terhadap lahan perusahaan bisa dimusyawarahkan, meski sebenarnya lahan yang dituntut warga tersebut sebenarnya sudah "clear", dan perolehannya melalui prosedur yang benar.

Perolehan lahan berdasarkan SK Gubernur Sumsel No: 379/Kpts/I/1981 tanggal 16 November 1981, Perihal Pencadangan Tanah Negara seluas 20.000 ha untuk Proyek Pabrik Gula di Kecamatan Tanjungraja, Muarakuang, Inderalaya, dan Tanjungbatu, Kabupaten Dati II Ogan Komering Ilir.

Hal itu berdasarkan surat tugas Bupati Kdh. Tingkat II OKI No: AG.210-243/1981 tanggal 10 April 1981 untuk mengadakan inventarisasi tanah, tanam tumbuh, dan bangunan rakyat terhadap lokasi yang akan dibebaskan oleh PTP XXI-XXII (Persero) di Marga Tanjungbatu, Meranjat, Lubukkeliat, dan Marga Rambang IV Suku di Kecamatan Tanjungbatu dan Muarakuang.

Sesuai hasil inventarisasi itu, tanah rakyat di Rayon III, di Ketiau seluas 374 ha yang ganti ruginya diberikan kepada 133 warga; di Sribandung, Sritanjung, dan Tanjungatap seluas 1.479 ha, dan ganti ruginya diberikan kepada 894 warga.

"Jadi lahan milik rakyat yang diganti rugi seluas 1.853 ha dengan jumlah pemilik sebanyak 1.027 orang," ujar dia pula.

Sedangkan sisanya merupakan tanah negara eks tanah marga, kata Sonny, seraya menegaskan pula, berdasarkan kronologis tersebut, jelas PTPN VII telah melalui prosedur dalam memperoleh lahan dimaksud.

Polres Ogan Ilir berkaitan aksi pendudukan lahan itu, tetap meminta kepada warga untuk tidak melakukan tindakan anarkis dalam menuntut lahan tersebut, apalagi sampai melakukan pembakaran terhadap aset PTPN VII Cinta Manis yang merupakan aset negara dan harus dilindungi bersama.

Walhi Sumsel selaku pendamping warga juga tetap berharap aksi itu dilakukan tanpa terjadi bentrok atau tindakan anarkis, mengingat tuntutan warga adalah dapat mengembalikan hak mereka sebelumnya.

Diharapkan berlangsung dialog antara warga dengan pihak penentu kebijakan di PTPN VII, sehingga dapat segera dicarikan titik temu dan solusi yang dapat diterima para pihak dengan baik

sumber : lampung.antaranews.com



Artikel Terkait:

0 komentar: