Masalah mendasar yang
mengakibatkan kemiskinan, penderitaan rakyat Indonesia dari zaman penjajahan,
zaman pembangunan Orde Baru, hingga saat ini adalah ketidakadilan penguasaan
sumber-sumber agraria. Ketidakadilan penguasaan sumber agraria yang dimaksud
adalah dimonopolinya kepemilikan dan penggunaan sumber sumber agraria baik itu
berupa tanah, air dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
oleh sebagian kecil kelompok, sementara sebagian besar rakyat lainnya dibiarkan
tanpa kepemilikan dan kesempatan untuk mengusahakannya.
Salah satu bukti dari ketidak
adilan itu adalah permasalahan panjang warga 6 kecamatan di Ogan Ilir Sumatera
Selatan yang lahan pertanian mereka di ambil paksa oleh PTPN VII sejak tahun
1982 lalu. Perjuangan panjang
masyarakat dari desa Sribandung, Tj. Laut, Tj.
Pinang, Tj. Atap,Tj. Baru Petai, Sentul, Limbang Jaya (KecamatanTanjung Batu),
Desa SriKembang, Rengas, Lubuk Bandung (kecamatan Payarman), Desa Ketiau,
Betung, Payalingkung, Lubuk Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa
Meranjat 1&2, Meranjat Ilir, (Kecamatan Indralaya Selatan) dan
Desa Tj. Gelam, Tj.Sejaroh, Tj.Agung Sejaro Sakti (Kecamatan Indralaya
Induk) Kemudian Desa Sri Ngilam Kecamatan Tanjung Raja untuk mendapatkan
kembali hak-hak mereka justru menempatkan mereka sebagai “lawan” dari negara
dikarenakan pemerintah abai terhadap persoalan-persoalan agraria yang
seharusnya dituntaskan oleh negara sebagaimana Tap MPR nomor IXtahun 2001 dan UUPA 1960.
Terlebih lagi, dari
luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6.000 ha memilki HGU berlokasi di daerah Burai
kecamatan Rantau Alai, dengan kata lain PTPN VII telah merugikan negara karena
penghasilan dari kurang lebih 14.000 ha lahannya tidak dilaporkan sebagai
pemasukan bagi negara. Permasalahan ini
secara nyata diketahui oleh Kementrian BUMN selaku pembina BUMN di Indonesia
dalam hal ini salah satunya adalah PTPN VII demikian tutur Anwar Sadat,
Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan.
Upaya-upaya warga
yang kemudian menggabungkan diri melalui Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB)
memuncak pada hari Senin, 21 Mei 2012, dimana warga memutuskan untuk memblokade
akses jalan menuju pabrik pengolahan gula PTPN VII. Atas aksi warga tersebut baru kemudian
pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Ogan Ilir Propinsi
Sumatera Selatan memfasilitasi warga untuk berdialog dengan PTPN VII bertempat
di DPRD Kabupaten Ogan Ilir. Hasil dari
kesepakatan warga dengan PTPN VII adalah akan dilaksanakan negosiasi di tanggal
7 Juni 2012.
Rangkaian tuntutan
warga melalui aksi berlanjut di tanggal 7 Juni 2012 untuk mendesakan proses
negosiasi yang terkesan ditunda-tunda oleh PTPN VII. Buntut dari aksi di tanggal 7 Juni tersebut,
14 orang warga dikriminalkan dengan tuduhan melanggar UU No 51/Prp/1960 tentang
Agraria. Dari rangkaian kejadian
tersebut semakin jelas memperlihatkan PTPN VII tidak benar-benar memiliki niat
untuk menyelesaikan masalah yang sudah bertahun-tahun terjadi.
Paska aksi yang dilakukan oleh
sekitar 600 orang petani Ogan Ilir ke Kementrian BUMN pada tanggal 3-4 Juli
2012, dimana salah satu hasilnya pihak Kementrian BUMN bersedia duduk bersama
dengan petani pada tanggal 16 Juli 2012. Namun
lagi-lagi, proses negosiasi yang berlangsung tidak menghasilkan keputusan yang
berpihak kepada puluhan ribu Petani. PTPN VII tidak mempunyai niat yang baik
untuk menyelesaikan konflik dengan petani, dan ironisnya Kementerian BUMN yang
menjadi induk dari unit usaha negara yang membawahi PTPN VII salah satunya
membiarkan praktek buruk PTPN VII terus berlangsung, mulai dari perampasan
tanah petani, pelanggaran hak asasi manusia lainnya, hingga
manipulasi-manipulasi yang sesungguhnya merugikan negara dan hanya
menguntungkan bagi elit di PTPN VII. Kementrian BUMN yang dipimpin oleh Dahlan
Iskan yang konon akan melakukan reformasi di Kementriannya, justru lepas tangan
dan tidak bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh PTPN VII ini dan
cenderung memposisikan diri hanya sebagai mediator, ungkap Iwan Nurdin dari
Konsorsium Pembaruan Agraria.
Lepas tangannya Kementerian BUMN
terhadap Praktek Buruk PTPN VII ini
semakin memperkuat dugaan bahwa praktek-praktek yang memposisikan BUMN
sebagai “ladang” bagi pendanaan politik dan praktek politik traksaksional yang
dijalankan rezim pemerintah hari ini yang berakibat pada diinfiltrasinya
lembaga-lembaga negara oleh para perusak lingkungan, imbuh Abetnego Tarigan,
Direktur Ekskutif Nasional WALHI.
Wahyu Agung dari Serikat Petani
Indonesia menambahkan, praktek buruk
pengelolaan lahan dan mandegnya upaya reforma agraria yang menjadi mandat UUPA
tahun 1960 ini memperlihatkan bahwa pengurus negara saat ini tidak memiliki
keberpihakan kepada rakyat. Permasalahan
ketimpangan distribusi penguasaan lahan dan sumberdaya alam yang terjadi
menunjukan bahwa pemerintah tidak mampu mendistribusikan kesejahteraan kepada
warga negara, dilihat pada konteks Sumatera Selatan saja, selama tiga tahun
terakhir ini jumlah sengketa agraria yang di adukan terus meningkat. Jika tahun
2009 terdapat 18 aduan sengeta agraria, di tahun 2010 meningkat menjadi 27
aduan dan di tahun 2011 bertambah lagi menjadi 32 aduan sengketa agraria.
Dengan demikian maka keterkaitan
antara praktek buruk perusahaan-perusahaan negara memiliki korelasi cukup
signifikan dengan pengabaian hak rakyat dan akumulasi ilegal keuntungan untuk
satu kelompok yang berakibat pada semakin jauhnya bangsa ini dari cita-cita
nasionalnya sebagaimana mandat Pembukaan UUD 1945.
oo0oo
Kontak person :
anwar sadat Direktur Walhi Sumsel : 0812 785725
Issued by :
WALHI/Friends of the Earth Indonesia
Konsorsium Pembaruan Agraria
Serikat Petani Indonesia
ELSAM
Sawit Watch
1 komentar:
Yang perlu diketahui penulis artikel ini adalah kebutuhan untuk hajat orang banyak memang dimonopoli pemerintah. Mungkin agar lebih jelas, bisa melihat undang2 kembali.
Saya ingin semua menjadi damai.
Tidak saling menyudutkan, tapi membantu mencari solusi.
Posting Komentar